Sungguh H-30
sebelum acara terhelat di kampus tercinta yang berada di kota pahlawan
ini.sebuah acara yang besar ingin ku datang bak seorang hamba yang kehausan dan
ber-ekpektasi tuk meminum seluruh lautan di muka bumi ini oun belum cukup ku
mengarungi ilmu-Mu wahai sang Pemberi Cinta.
AnComS (Annual
Conference for Muslims Scholars) yang ke dua ini di adakan di ruangan
Amphteater lt.2 gedung Twin-tower UIN Sunan Ampel Surabaya. Dari perhelatan
konferensi kali ini di hadiri oleh Prof. Dr. Arskal Salim GP, M.Ag sebagai
keynote speaker dan pemateri 1 yang ditunjuk adalah generasi Madura yang mana
terkenal akan keintelektualitasan beliau adalah Prof. Dr. M. Mahfud MD dan
sedangkan speaker ke-2 ialah Rais
Syuriah PCI NU
Australia & New Zealand sekaligus dosen di Monash University Prof. Dr.
Nadirsyah Hosen, Ph.D yang mana dalam pagelaran konferensi ini menggunakan tema
“Penguatan moderasi Islam”
Pemaparan
pertama setelah pembukaan oleh master of ceremony dan sambutan oleh Rektor UIN
Sunan Ampel Surabaya Prof. Dr. Abd A’la, M, Ag. Prof Arska yang sebagai
direktur dari Islamic Higher
Education of MORA dan sebagai penulis salah satu buku fenomenal tentang “Hukum
Tata Negara Dan Politik Islam” beliau menuturkan bahwa DNA PTAIN/PTA/PTKIS
adalah “Islam Moderat” yang mana moderat ini bertujuan untuk
menghancurkan paham radikalis dan ultra nasional di kalangan masyarakat
terutama seluruh masyarakat Indonesia. Dari bentuk Moderat islam yang dimiliki
indonesia adalah adanya “Duo Sayap” Islam NKRI yaitu NU (Nahdlatul Ulama) dan
Muhammadiyah.
Selain itu, Prof Arskar juga menuturkan dari
penjelasan buku Literatur Ke-Islami-an Millenial yang baru di resmikan tahun
2017 lalu menuturkan bahwa isu yang akan membahayakan keutuhan NKRI adalah “Islamisasi”.
Islamisasi sendiri memiliki 4 bentuk antara lain; Jihadis, Tahriri, Salafi
dan Tarbawi. Tutur beliau. Dari 4 hal tersebut mempunyai 2 kategori inti
gerakan yang kini semakin hangat menggerogoti persatuan Indonesia setelah
PILKADA Jakarta tahun lalu yaitu Ideologi dan Aktivisme.
Maka dari pemaparan Prof Arska menambahkan
bahwasanya, dari tantangan islamisme sendiri, kita harus membendung hal
tersebut dengan gerakan dan pemikiran juga atau populer di sebut sebagai “Post
Islamisme” hal inilah yang menjadi peluang sendiri untuk menjaga keutuhan
bangsa Indonesia. Diantara konsepsi tersebut ada empat langkah yang utama dalam
Post Islamisme, antara lain; Dinamisme, Mengurangi Ideologi, mengakomodasi ke
modern-an dan generasi millenial yang di rangkul pula dengan dua aspek antara
lain; kontra wacana dan kontra aksi.
Kontra wacana disini di maksudkan dalam pergerakan
islamisme yang populer biasa di gentarkan di media sosial, kontra wacana juga
harus membawa kondisi media sosial kepada kontra pendapat yang di paparkan oleh
gerakan islamisme. Jika di analogikan, dalam media sosial di gembar-gemborkan
akan Khilafa ‘alaa minhajul nubuwwah adalah sistem yang pasti lebih baik
dari pada sistem yang ada di negara-negara manapun karena berlandaskan kepada
a;-qur’an dan sunnah (Katanya). Akan tetapi faktanya tidak semua dari sistem
yang berlaku dari sistem Khilafah dari Khulafa’ arasyidin sampai terakhir sistem
khilafah di hapus ketika masa perang dunia pertama. Khilafah belum semuanya
menunjukan sebuah sistem yang konkrit sehingga dari sebagian periode
ke-khilafan islam dahulu juga memiki masa kelam dan miris dalam konteks
kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang membawa kepada kemaslahatan umat.
Maka dari itu setelah pemaparan darikey note
speaker, Prof Mahfud memaparkan dari segi hukum yang ada di indonesia dan
sedikit ulasan sejarahnya. Dari data yang di temukan, 80% rohis (rohani Islam)
menuju kepada Radikalisme. Hal ini menjadi ancaman nyata bagi indonesia dalam
menjaga keutuhan bangsa dan Pancasila serta UUD 1945.
Prof mahfud menambahkan sistem yang Indonesia
terapkan atau sitem yang dulu diperdebatkan oleh founding father adalah bentuk
dari “konsep Prismatik” yaitu konsep jalan tengah (washatiyah). Sistem ini menunjukan bahwasanya indonesia
bukan negara individualis atau komunalis, juga bukan kapitalis atau sosialis,
akan tetapi Pancasila, UUD 1925 dan Indonesia berada di tengah di antara semua
itu. Maka dari itu, tidak semua hukum atau sistem di negara ini mengikuti
sistem hukum suatu agama meskipun sebuah agama mayoritas.
Bentuk hukum yang ada dari awal proklamasi hingga
sekarang adalah sebuah bentuk hukum yang di hasilkan dari “eklektisasi” atau
melewati sebuah perdebatan kuat dari pihak-pihak perwakilan rakyat pusat (DPR)
ataupun perwakilan rakyat daerah (DPRD). Maka dari itu, hasil dari sebuah
sistem hukum yang berlaku di Indonesia bukan untuk memenuhi hukum dari sebuah
agama, akan tetapi hukum Indonesia untuk mencapai kesepakatan hukum yang
dikeluarkan oleh perwakilan rakyat untuk rakyat indonesia secara menyeluruh atau
bisa di sebut sebagai sanksi hukum “Heteronom”. Sedangkan jika di ambil
dari konteks agama atau Fiqh sangat tidak relevan. Karena fiqh disini
kajiannya sangat relatif, tergantung pada 3 aspek, antara lain zaman, budaya
dan tempat. Maka tidak sepatutnya indonesia ini harus memiliki sistem hukum
yang sama dengan negara-negara yang mengatakan diri mereka sebagai negara
islam.
Terakhir dari pemaparan prof Mahfud adalah perihal
“Living Law” yang mana living law ini sendiri terbagi menjadi dua,
antara lain; 1) hukum yang di taati meski tidak memiliki dasar dari negara.
contoh zakat, fiqh dan lain sebagainya. Aspek yang pertama dalam living law ini
adalah aspek hukum ini tidak memiliki bentuk pemaksaan oleh negara bagi siapa
yang ingin mentaatinya ataupun menlanggarnya, karena hukum negara tidak
mengatur didalamnya atau dalam istilah lain hukum moral. Sedangkan aspek yang
kedua adalah 2) hukum kenyal (fleksibel) adalah hukum yang selalu aktual meski dalam setiap
zaman berbeda (old and now) seperti membayar sebuah transaksi dengan
mobile banking. Karena aspek ini menekankan kepada zaman dan peradaban yang
ada, tidak mungkin jika hukum yang dulu diterapkan di zaman sekarang yang penuh
dengan kecanggihan teknologi dan perkembangan peradaban ini.
Terakhir dalam
speaker adalah Prof. Nadir atau
akrab di panggil dengan nama Gus Nadir yang mengkaji topik dalam seminar dari
aspek fiqh dan politik islam. Beliau memiliki kapabilitas ilmu yang dalam dan
luas perihal hukum tata negara islam dan australia serta politik islam,
materi-materi tersebut beliau ajarkan di Monash University Australia.
Prof. Nadir menambahkan konsep sistem Khilafah
yang di junjung oleh beberapa kelompok transnasional sekarang ini selalu
merujuk kepada keunggulan sistem Khilafah pada zaman Khulafa ar Rasyidin hingga
Khilafah Bani Umayyah. Tetapi sekian periode masa ke-khilafahan tersebut,
sistem yang di gaungkan tidak selalu memiliki keunggulan dan potensi kuat untuk
tetap menjunjung sistem yang baik untuk negara seperti prinsip yang sudah dimiliki
indonesia (red Pancasila), seperti Ketuhanan Yang maha Esa dalam sebuah negara
majemuk akan suku, ras, bahasa, budaya dan lain sebagainya, keadilan sosial
bagi seluruh rakyat indonesia yang mana menjelaskan bahwa dalam suatu negara
terkhusus indonesia tidak boleh ada ketimpangan sosial, ekonomi dan hal lainnya
apalagi yang berkaitan dengan agama mayoritas dan minoritas.
Singkatnya, sebuah sistem yang baru-baru ini di
pasarkan dalam market politik nasional dan transnasional bukanlah menjadi
satu-satunya cara untuk memecahkan problem-problem yang ada di masyarakat. Prof.
Nadir menambahkan bahwasanya dalam moderat islam ini memiliki 5 aspek tujuan
yang harus dipenuhi untuk kemajuan yang berkelanjutan dalam memenuhi peran
manusia sebagai “Khilafah” sesungguhnya, antara lain; Relasi Islam dan Negara,
relasi islam dan Non-Muslim, relasi Islam dan Budaya, relasi islam dan
ketimpangan sosial, dan relasi islam dan pemikiran.
Jika ke-5 tujuan tersebut terpenuhi dan ditemukan
intisari dalam menyelesaikan segala bentuk masalah dan pemecahannya. Maka tujuan
Moderat islam yang sesungguhnya tercapai.
Di akhir seminar, setiap speaker memberikan ulasan
atau sepatah kata penutup acara, yang paling penulis ingat-ingat ialah pean
dari Prof. Mahfud MD yang mana beliau saya nilai sebagai seorang generasi
patriotis sekaligus beliau ini adalah aktivis perubahan kemajuan negara. Selain
itu juga saya mendapatkan sinkronisasi dari sebuah acara debat MPR RI yang di
delegasikan 4 universitas besar di jawa timur yang mana dalam diskusi di
jelaskan bahwasanya mulai kini masyarakat harus bisa “melek Konstitusi”. Prof.
Mahfud mengatakan; “Pemikiran Hukum itu mempunyai 2 dasar atau landasan yaitu
Filosofi dan dasar”. Hal ini membuat saya berfikir bahwasanya untuk mencintai
negeri ini maka kita harus mengenalnya terlebih dahulu dari rahim siapa
sebenarnya negara ini terbentuk. Bukan hanya semata-mata berpatokan kepada
literatur dari negara lain, karena hal demikian sesungguhnya adalah sebuah
kesalahan. Setiap negara terbentuk atas kearifan dan budaya yang berbeda.
Maka dari itu, setiap generasi harus diberikan
pendidikan awal bagaimana mencintai negara mereka sendiri.
Surabaya, 23 April 18
RFZ