Senin, 23 April 2018

AnCoMS Islamic State University Sunan Ampel Surabaya


Sungguh H-30 sebelum acara terhelat di kampus tercinta yang berada di kota pahlawan ini.sebuah acara yang besar ingin ku datang bak seorang hamba yang kehausan dan ber-ekpektasi tuk meminum seluruh lautan di muka bumi ini oun belum cukup ku mengarungi ilmu-Mu wahai sang Pemberi Cinta.
AnComS (Annual Conference for Muslims Scholars) yang ke dua ini di adakan di ruangan Amphteater lt.2 gedung Twin-tower UIN Sunan Ampel Surabaya. Dari perhelatan konferensi kali ini di hadiri oleh Prof. Dr. Arskal Salim GP, M.Ag sebagai keynote speaker dan pemateri 1 yang ditunjuk adalah generasi Madura yang mana terkenal akan keintelektualitasan beliau adalah Prof. Dr. M. Mahfud MD dan sedangkan speaker ke-2 ialah Rais Syuriah PCI NU Australia & New Zealand sekaligus dosen di Monash University Prof. Dr. Nadirsyah Hosen, Ph.D yang mana dalam pagelaran konferensi ini menggunakan tema “Penguatan moderasi Islam”
Pemaparan pertama setelah pembukaan oleh master of ceremony dan sambutan oleh Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Prof. Dr. Abd A’la, M, Ag. Prof Arska yang sebagai direktur dari Islamic Higher Education of MORA dan sebagai penulis salah satu buku fenomenal tentang “Hukum Tata Negara Dan Politik Islam” beliau menuturkan bahwa DNA PTAIN/PTA/PTKIS adalah “Islam Moderat” yang mana moderat ini bertujuan untuk menghancurkan paham radikalis dan ultra nasional di kalangan masyarakat terutama seluruh masyarakat Indonesia. Dari bentuk Moderat islam yang dimiliki indonesia adalah adanya “Duo Sayap” Islam NKRI yaitu NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah.
Selain itu, Prof Arskar juga menuturkan dari penjelasan buku Literatur Ke-Islami-an Millenial yang baru di resmikan tahun 2017 lalu menuturkan bahwa isu yang akan membahayakan keutuhan NKRI adalah “Islamisasi”. Islamisasi sendiri memiliki 4 bentuk antara lain; Jihadis, Tahriri, Salafi dan Tarbawi. Tutur beliau. Dari 4 hal tersebut mempunyai 2 kategori inti gerakan yang kini semakin hangat menggerogoti persatuan Indonesia setelah PILKADA Jakarta tahun lalu yaitu Ideologi dan Aktivisme.
Maka dari pemaparan Prof Arska menambahkan bahwasanya, dari tantangan islamisme sendiri, kita harus membendung hal tersebut dengan gerakan dan pemikiran juga atau populer di sebut sebagai “Post Islamisme” hal inilah yang menjadi peluang sendiri untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Diantara konsepsi tersebut ada empat langkah yang utama dalam Post Islamisme, antara lain; Dinamisme, Mengurangi Ideologi, mengakomodasi ke modern-an dan generasi millenial yang di rangkul pula dengan dua aspek antara lain; kontra wacana dan kontra aksi.
Kontra wacana disini di maksudkan dalam pergerakan islamisme yang populer biasa di gentarkan di media sosial, kontra wacana juga harus membawa kondisi media sosial kepada kontra pendapat yang di paparkan oleh gerakan islamisme. Jika di analogikan, dalam media sosial di gembar-gemborkan akan Khilafa ‘alaa minhajul nubuwwah adalah sistem yang pasti lebih baik dari pada sistem yang ada di negara-negara manapun karena berlandaskan kepada a;-qur’an dan sunnah (Katanya). Akan tetapi faktanya tidak semua dari sistem yang berlaku dari sistem Khilafah dari Khulafa’ arasyidin sampai terakhir sistem khilafah di hapus ketika masa perang dunia pertama. Khilafah belum semuanya menunjukan sebuah sistem yang konkrit sehingga dari sebagian periode ke-khilafan islam dahulu juga memiki masa kelam dan miris dalam konteks kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang membawa kepada kemaslahatan umat.
Maka dari itu setelah pemaparan darikey note speaker, Prof Mahfud memaparkan dari segi hukum yang ada di indonesia dan sedikit ulasan sejarahnya. Dari data yang di temukan, 80% rohis (rohani Islam) menuju kepada Radikalisme. Hal ini menjadi ancaman nyata bagi indonesia dalam menjaga keutuhan bangsa dan Pancasila serta UUD 1945.
Prof mahfud menambahkan sistem yang Indonesia terapkan atau sitem yang dulu diperdebatkan oleh founding father adalah bentuk dari “konsep Prismatik” yaitu konsep jalan tengah (washatiyah).  Sistem ini menunjukan bahwasanya indonesia bukan negara individualis atau komunalis, juga bukan kapitalis atau sosialis, akan tetapi Pancasila, UUD 1925 dan Indonesia berada di tengah di antara semua itu. Maka dari itu, tidak semua hukum atau sistem di negara ini mengikuti sistem hukum suatu agama meskipun sebuah agama mayoritas.
Bentuk hukum yang ada dari awal proklamasi hingga sekarang adalah sebuah bentuk hukum yang di hasilkan dari “eklektisasi” atau melewati sebuah perdebatan kuat dari pihak-pihak perwakilan rakyat pusat (DPR) ataupun perwakilan rakyat daerah (DPRD). Maka dari itu, hasil dari sebuah sistem hukum yang berlaku di Indonesia bukan untuk memenuhi hukum dari sebuah agama, akan tetapi hukum Indonesia untuk mencapai kesepakatan hukum yang dikeluarkan oleh perwakilan rakyat untuk rakyat indonesia secara menyeluruh atau bisa di sebut sebagai sanksi hukum “Heteronom”. Sedangkan jika di ambil dari konteks agama atau Fiqh sangat tidak relevan. Karena fiqh disini kajiannya sangat relatif, tergantung pada 3 aspek, antara lain zaman, budaya dan tempat. Maka tidak sepatutnya indonesia ini harus memiliki sistem hukum yang sama dengan negara-negara yang mengatakan diri mereka sebagai negara islam.
Terakhir dari pemaparan prof Mahfud adalah perihal “Living Law” yang mana living law ini sendiri terbagi menjadi dua, antara lain; 1) hukum yang di taati meski tidak memiliki dasar dari negara. contoh zakat, fiqh dan lain sebagainya. Aspek yang pertama dalam living law ini adalah aspek hukum ini tidak memiliki bentuk pemaksaan oleh negara bagi siapa yang ingin mentaatinya ataupun menlanggarnya, karena hukum negara tidak mengatur didalamnya atau dalam istilah lain hukum moral. Sedangkan aspek yang kedua adalah 2) hukum kenyal (fleksibel) adalah hukum yang selalu aktual meski dalam setiap zaman berbeda (old and now) seperti membayar sebuah transaksi dengan mobile banking. Karena aspek ini menekankan kepada zaman dan peradaban yang ada, tidak mungkin jika hukum yang dulu diterapkan di zaman sekarang yang penuh dengan kecanggihan teknologi dan perkembangan peradaban ini.
Terakhir dalam speaker adalah Prof. Nadir atau akrab di panggil dengan nama Gus Nadir yang mengkaji topik dalam seminar dari aspek fiqh dan politik islam. Beliau memiliki kapabilitas ilmu yang dalam dan luas perihal hukum tata negara islam dan australia serta politik islam, materi-materi tersebut beliau ajarkan di Monash University Australia.
Prof. Nadir menambahkan konsep sistem Khilafah yang di junjung oleh beberapa kelompok transnasional sekarang ini selalu merujuk kepada keunggulan sistem Khilafah pada zaman Khulafa ar Rasyidin hingga Khilafah Bani Umayyah. Tetapi sekian periode masa ke-khilafahan tersebut, sistem yang di gaungkan tidak selalu memiliki keunggulan dan potensi kuat untuk tetap menjunjung sistem yang baik untuk negara seperti prinsip yang sudah dimiliki indonesia (red Pancasila), seperti Ketuhanan Yang maha Esa dalam sebuah negara majemuk akan suku, ras, bahasa, budaya dan lain sebagainya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia yang mana menjelaskan bahwa dalam suatu negara terkhusus indonesia tidak boleh ada ketimpangan sosial, ekonomi dan hal lainnya apalagi yang berkaitan dengan agama mayoritas dan minoritas.
Singkatnya, sebuah sistem yang baru-baru ini di pasarkan dalam market politik nasional dan transnasional bukanlah menjadi satu-satunya cara untuk memecahkan problem-problem yang ada di masyarakat. Prof. Nadir menambahkan bahwasanya dalam moderat islam ini memiliki 5 aspek tujuan yang harus dipenuhi untuk kemajuan yang berkelanjutan dalam memenuhi peran manusia sebagai “Khilafah” sesungguhnya, antara lain; Relasi Islam dan Negara, relasi islam dan Non-Muslim, relasi Islam dan Budaya, relasi islam dan ketimpangan sosial, dan relasi islam dan pemikiran.
Jika ke-5 tujuan tersebut terpenuhi dan ditemukan intisari dalam menyelesaikan segala bentuk masalah dan pemecahannya. Maka tujuan Moderat islam yang sesungguhnya tercapai.
Di akhir seminar, setiap speaker memberikan ulasan atau sepatah kata penutup acara, yang paling penulis ingat-ingat ialah pean dari Prof. Mahfud MD yang mana beliau saya nilai sebagai seorang generasi patriotis sekaligus beliau ini adalah aktivis perubahan kemajuan negara. Selain itu juga saya mendapatkan sinkronisasi dari sebuah acara debat MPR RI yang di delegasikan 4 universitas besar di jawa timur yang mana dalam diskusi di jelaskan bahwasanya mulai kini masyarakat harus bisa “melek Konstitusi”. Prof. Mahfud mengatakan; “Pemikiran Hukum itu mempunyai 2 dasar atau landasan yaitu Filosofi dan dasar”. Hal ini membuat saya berfikir bahwasanya untuk mencintai negeri ini maka kita harus mengenalnya terlebih dahulu dari rahim siapa sebenarnya negara ini terbentuk. Bukan hanya semata-mata berpatokan kepada literatur dari negara lain, karena hal demikian sesungguhnya adalah sebuah kesalahan. Setiap negara terbentuk atas kearifan dan budaya yang berbeda.
Maka dari itu, setiap generasi harus diberikan pendidikan awal bagaimana mencintai negara mereka sendiri.

Surabaya, 23 April 18
RFZ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar